Ingin Panen Melimpah Tirulah Cara Bertani Petani Jombang
Ingin Panen Melimpah Tirulah Cara Bertani Petani Jombang
Hadi Suryanto tampak sumringah. Semangatnya semakin membungkah pada usianya yg memasuki 50 tahun. Senyum rutin menghiasi wajah ayah tiga anak dan kakek seorang cucu tersebut.
Hadi, salah seorang petani di Desa Tejo, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, itu tidak henti-hentinya menghaturkan puji syukurnya terhadap Tuhan. Panenan padi di lahannya yg tidak seberapa luas, yakni 100 ru, alias setara 275 meter persegi kian meningkat. Ukuran tanah bagi petani di Jawa, 1 ru sama dengan 2,75 meter. "Hasil panenan hari ini mencapai sembilan kuintal lebih, hampir satu ton," ujarnya seraya menunjukkan tumpukan padi di dapur rumahnya di RT 01 RW 01 Desa Tejo.
Hadi menuturkan, hasil panen sawah warisan orang-orang tuanya selagi lima tahun terbaru semakin menurun. Pada demam isu panen tahun lalu, sawahnya hanya menghasilkan lima kuintal. Padahal, beberapa tipe pupuk kimia telah dirinya taburkan.
Hadi tidak ingin patah semangat. Apalagi ia tidak punya pekerjaan lain. Sejak kecil telah bekerja di sawah sebagai petani sebagaimana umumnya warga Desa Tejo lainnya.
Kerja keras wajib dilakoninya sembari semakin putar otak supaya tingkat kesuburan tanahnya dapat diperbaiki. Terbersit pikiran membiarkan sawahnya menganggur selagi satu demam isu panen. Batang jagung seusai panen tahun sebelumnya dibiarkan, padahal biasanya dibakar untuk menyongsong demam isu tanam padi.
Selama lahan sawahnya tidak ditanami apapun, Hadi menabur 250 kilogram pupuk organik. Ia berharap dengan menabur pupuk organik pada lahan yg tetap dipenuhi batang jagung yg mengering, tingkat kesuburan tanah miliknya kembali meningkat. "Dahulu ketika orang-orang tua tetap hidup, lumayan diberi sedikit pupuk kimia, tanaman pribadi subur. Tapi belakangan, walau pupuk kimia ditingkatkan, hasil panen malah menurun," ucapnya.
Hasil kerja Hadi nyatanya tidak sia-sia. Sawahnya yg sempat menganggur, seusai kembali ditanami pada pada demam isu tanam lalu, memperlihatkan hasil yg baginya telah sangat memuaskan. Tingkat kesuburan tanahnya kembali normal. Jumah panenan sembilan kuintal gabah kering giling telah mendekati hasil puncak yg sempat dinikmati semasa orang-orang tuanya tetap hidup. ”Hasil panen paling atas sempat mencapai satu ton,” tuturnya mengenang masa lalu.
Adalah Sama’i yg ikut berperan menolong Hadi mengolah tanah sawahnya supaya kembali sumbur. Sebagai ketua Kelompok Tani Makmur Desa Tejo, Sama’i, tidak ingin 107 petani yg menjadi anggotanya semakin dlanda kerisauan. Sebab, bukan hanya tanah sawah milik Hadi yg merosot tingkat kesuburannya tetapi seluruh lahan sawah di desa tersebut, tergolong milik anak buah kelompok tani yg dipimpinnya juga tidak lagi subur. ”Mereka rutin mengeluh hasil panen padinya semakin merosot dalam lima tahun terakhir,” papar Sama’i.
Kesukaannya mengumpulkan info dari beberapa media menolong Sama’i memperoleh pengetahuan untuk menanggulangi merosotnya tingkat kesuburan tanah sawah di desanya. Berbekal pengetahuannya yg dikumpulkannya semenjak dua tahun lalu, Sama’i bersama anak buah kelompok taninya semakin berdiskusi. Akhirnya disepakati memakai pupuk organik sebagai solusi untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah.
Sejak itulah Hadi dan seluruh anak buah Kelompok Tani Makmur membikin pupuk organik sederhana, yakni dari kotoran hewan, semacam sapi. Pupuk ditaburkan ke sawah. Selain itu jerami sisa panen yg biasanya dipasarkan ditata dengan cara merata di seluruh areal persawahan.
Ihwal merosotnya tingkat kesuburan tanah dibenarkan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jombang, Suhardi. Kondisinya, menurut Suhardi, telah sangat memprihatinkan.
Menurut Suhardi, idealnya kandungan organik yg terdiri dari unsur hara dan mineral tanah tiga persen. Namun, kini hampir seluruh lahan sawah di Kabupaten Jombang telah mencapai titik nadir di bawah satu persen.
Dinas Pertanian Kabupaten Jombang tahun 2009 lalu melakukan penelitian. Hasilnya mencengangkan. Berdasarkan penelitian di 19 dari 21 kecamatan yg ada di Kabupaten Jombang, kandungan bahan organik berkisar antara 0,5 hingga 1 persen. "Saat itu kami pribadi bergerak dengan membikin laboratorium tanah," tutur Suhardi.
Dinas Pertanian juga memperlihatkan pelatihan dan menolong peralatan pembuatan pupuk organik yg terjangkau dan efisien. Pelatihan dan pemberian bantuan peralatan dilakukan melewati kelompok tani masing-masing.
Suhardi juga menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian yg dilakukan laboratorium tanah, tingkat kesuburan tanah mulai menurun semenjak tahun 1983, seusai Kabupaten Jombang menikmati puncak hasil panen. Penggunaan pupuk kimia yg mulai dikenal masyarakat kurang lebih tahun 1960 membikin kandungan kesuburan tanah semakin menurun. Akibatnya, tanah tidak mempunyai unsur hara yg lumayan dan tanah pun mengeras.
Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur, Wibowo Eko Putro, mengamininya. Merosotnya tingkat kesuburan tanah bahkan selain terjadi di Jombang, tetapi menyeluruh di Jawa Timur. ”Jika dibiarkan, jadi potensi pangan di tingkat lokal Jawa Timur dan Indonesia tidak dapat terpenuhi lagi,” urai Wibowo.
Kekhawatiran Wibowo bukan tanpa alasan. Jawa Timur menyumbang 12 persen produksi padi dengan cara nasional. Dengan demikian, apabila Jawa Timur mengalami kekurangan produksi pertanian akan menggoyahkan politik pangan dengan cara nasional.
Langkah penanggulangan segera diambil. Sejak tahun 2009, Jawa Timur menerapkan bantuan berupa subsidi pupuk organik terhadap para petani. Melalui kelompok tani diberikan peralatan pembuat pupuk organik, semacam coper (pencacah bahan pupuk) dan granul (pembuat buliran pupuk). Dengan bantuan tersebut diinginkan petani sanggup membikin pupuk organik terjangkau jadi dapat menambah kesuburan tanah mereka.
Sejak ketika itu sebanyak 1.968 kelompok tani telah mendapatkan peralatan pembuatan pupuk organik. Jumlah bantuan akan semakin ditambah jadi ditargetkan mencapai 3.000 alat untuk 3.000 kelompok tani.
Melalui pola bantuan tersebut, kata Wibowo, kelompok tani diinginkan sanggup menyuplai kebutuhan pupuk organik, khususnya untuk anak buah kelompoknya. Harganya pun menjadi lebih murah, yakni Rp 500 per kilogram. Padahal harga pupuk organik produksi pabrik besar mencapai Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilogram.
Kelompok tani juga semakin didorong untuk semakin berinovasi supaya tanahnya subur. Di antaranya mencampur pupuk organik dengan beberapa mikroba jadi kandungan unsur hara dan unsur perekat yg tersedia dalam pupuk organik lebih cepat berkembang.
Sama’i mengakui pentingnya semakin berinovasi. Dengan menambahkan beberapa tipe mikroba, semacam azatobacter chroococcum, aspergillus niger dan beberapa mikroba lainnya, kandungan unsur hara dan pengikat nitrogen dalam tanah menjadi lebih cepat. Berbagai tipe mikroba tersebut dapat dibeli di Dinas Pertanian.
Dengan mencampukan mikroba, pembuatan pupuk organik dapat lebih cepat, yaitu hanya memerlukan waktu tidak lebih dari dua pekan. "Kalau tanpa campuran mikroba dapat lebih dari satu bulan," kata Sama’i.
Kandungan zat organik dalam pupuk juga meningkat tajam. Jika tanpa campuran mikroba, 100 ru sawah memerlukan dua ton pupuk organik, sedangkan dengan campuran mikroba untuk tanah seluas 100 ru hanya memperlukan 20 kilogram pupuk organik.
Pakar kesuburan tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Syahrul Kurniawan, membahas bahwa merosotnya kesuburan tanah adalah imbas dari ditemukannya pupuk kimia yg menandai adanya revolusi hijau pada dekade 1960-an. "Sejak ketika itu kebutuhan pupuk kimia berkonsentrasi tinggi meningkat tajam," paparnya terhadap Tempo, Rabu, 28 September 2011.
Tingginya penggunaan pupuk kimia ketika itu lantaran para petani merasa pupuk organik alias kompos tidak lebih manjur untuk mempercepat dan menambah produksi tanaman. Padahal, penggunaan pupuk kimia dengan cara berkelanjutan membikin kandungan unsur hara dalam bahan organik dalam tanah tanah semakin menyusut dan akhirnya habis.
Ditegaskan oleh Syahrul, apabila kandungan organik dalam tanah telah habis, jadi berapapun jumlah pupuk kimia yg ditaburkan tidak akan sanggup menjadikan tanaman subur. Bahan-bahan kandungan pupuk kimia sesungguhnya hanya dapat merangsang pertumbuhan tanaman, tapi tidak sanggup menciptakan unsur organik yg sejatinya diperlukan oleh tanah.
Menurut Syahrul pula, semenjak Indonesia mencapai swasembada pangan tahun 1983, ketika itulah titik puncak terjadinya kerusakan kandungan bahan organik tanah di seluruh areal persawahan. Dalam keadaan semacam itu, pemerintah justru semakin menggenjot sasaran peningkatan produksi pertanian. Para petani pun berlomba memakai pupuk kimia. Pada ketika bersamaan luas lahan semakin berkurang.
Untuk memulihkan tingkat kesuburan tanah dampak penggunaan pupuk kimia, kata Syahrul, diperlukan waktu lima hingga 10 tahun. Itupun tingkat kesuburannya hanya mencapai tiga persen. Hasil tersebut juga sangat tergantung pada tingkat kesadaran petani untuk beralih memakai pupuk organik.
FATKHURROHMAN TAUFIQ