Mekanisasi Sniper, penembak tikus jitu di Tulungagung
Mekanisasi Sniper, penembak tikus jitu di Tulungagung
Selama ini yg telah memasyarakat dengan cara tuntas merupakan mesin bajak. Tidak ada lagi petani yg membajak sawah dengan kerbau alias sapi. Tidak ada juga yg mencangkul 100 persen. Mesin bajak telah sepenuhnya menggantikan yg tradisional.
Yang juga terus mayoritas merupakan penggunaan mesin perontok gabah. Bahkan, tak sedikit petani telah sanggup membuatnya. Teknologi perontok ini terbukti sederhana.
Yang baru mulai dicoba merupakan mesin untuk panen. Perkembangannya juga sangat pesat. Industri mesin panen dalam negeri juga mulai tumbuh. Kalau mesin bajak telah didominasi produksi dalam negeri, mesin panen pun kelihatannya juga dapat mengikutinya.
Yang tetap susah merupakan mesin penanam padi (planter). Padahal, mencari orang-orang yg menjadi buruh tanam padi kian sulit. Kalaupun ada, telah tua-tua. Wanita belia telah jarang yg mau terjun ke sawah. Akibatnya, anggaran tanam mahal sekali. Bahkan, jadwal tanam tak jarang wajib mundur: menantikan tenaga yg tetap digunakan di kawasan lain. Ancaman bagi peningkatan produksi beras juga ada di sektor ini.
Mesin penanam padi terbukti telah ada. Impor. Tapi, tak tepat dengan kebiasaan petani kita. Terutama kebiasaan melakukan pembibitan. Untuk dapat menanam padi dengan mesin, pembibitan tak dapat lagi dilakukan di sawah.
Pembibitan wajib dilakukan dengan cara modern. Biasanya di teras rumah. Agar tak kehujanan. Benih pun tak ditabur di tanah sawah, tapi di tanah khusus yg ditaruh di atas nampan.
Tadi malam, dengan tutorial duduk lesehan di pendapa rumah Lurah Sambitan, kami mendiskusikan ini. Bagaimana supaya petani kita mau berubah. Semua berkata akan sangat sulit.
Mengapa? Petani wajib mengangkat semaian benih itu dari rumah ke sawah. Harus ada anggaran serta alat transpor.
Tiba-tiba Pak Imam Muslim, ketua Kelompok Tani Gempolan angkat tangan. Dia mengutip wangsit yg sempat dirinya dengar: pembenihan itu dapat dilakukan di sawah. Caranya: hampar plastik di sawah, lalu digelar tanah khusus di atasnya. Dengan demikian, benih yg dapat ditaruh di atas mesin planter telah terdapat di sawah.
Memang ada kendala: jika hujan bagaimana? Tapi, kata Pak Imam, itu dapat dicarikan peneduh.
Menanam dengan mesin terbukti tak dapat ditawar lagi. Petani wajib sangatlah mau berubah. Kalau menanam padi telah dapat dilakukan dengan mesin, mekanisasi pertanian padi telah terlaksana: bajak, tanam, penggaruk rumput, pemanen, perontok semuanya memakai mesin.
Yang tak kalah luar biasa merupakan tutorial memberantas tikus. Petani Tulungagung merasa apa yg dilakukan di Godean, Jogja, tetap kalah dengan tutorial terakhir Tulungagung. Di Godean yg telah empat tahun gagal panen, terbukti telah sukses panen kembali bulan lalu. Tapi, tutorial yg sama dianggap tak manjur di Tulungagung.
Di sini petani menemukan tutorial terbaru: mengerahkan sniper. Penembak jitu. Senjata itu sebetulnya senjata biasa. Yang biasa untuk menembak burung. Tapi, saat ini dianggap sangat manjur untuk menembak tikus. Senjata itu dibekali sinar laser. Malam-malam sinar itu sangat jitu untuk mengincar tikus.
Kini ada 15 penembak tikus jitu di Tulungagung. Komandan detasemen khusus tikus ini: Turmudi dari Desa Sanan. Untuk setiap tikus yg ditewaskan mereka mendapat upah Rp 1.500.
Ternyata, semua kelompok tani sepakat dengan tutorial baru ini. (*)